Si Mungil dari Kota Cinta

Miniatur Menara EiffelBerbicara tentang Eropa, biasanya yang terbayang lebih dahulu adalah keindahan kota Paris. Bisa dibilang kota ini merupakan salah satu ikon benua biru. Ke Eropa, belum marem jika belum ke Paris.

Waktu awal-awal pindah ke Jerman, Emak belum bisa langsung ke Paris. Baru bisa membayangkan saja. Sebagai keluarga mahasiswa, bujet kami sangat terbatas. Paling jalan-jalan di seputar Nรผrnberg saja, kota tempat tinggal kami waktu itu. Baru ketika kami tinggal di Bremerhaven, ada rizki untuk mengunjungi kota cinta. Waktu itu Embak agak besar. Sekitar 3-4 tahun.

Kami naik bus sebuah perusahaan tur. Sekarang sudah gulung tikar. Berangkatnya dari Hamburg. Perjalanan semalam, pindah di Kรถln. Kami ikut tur bayar kendaraannya saja pergi pulang. Jika di Paris mau ikt mereka, harus nambah bayar. Sementara kami pilih jalan-jalan sendiri.

Kami membeli tiket mobilis, yang berlaku di zona tertentu Paris. Kami pilih zona dengan atraksi wisata utama kota ini. Alhamdulillah, sehari di Paris, lumayan lah dapat objek wisata utama. Mulai dari Sacre Coeur di Montmarte, lalu ke Moulin Rouge, Jardin de Tuilleries, foto-foto di depan Musee du Louvre, ke Eiffel walau gak naik, ke Champ Elysees dan Arc de Triomph di malam hari.

Paris sungguh megah. Gedung-gedungnya, wow. Bagian luarnya kayak ukir-ukiran. Dihiasi patung-patung manusia. Namun sangat ramai, jadi kesannya agak semrawut dan kotor. Pun lalu lintasnya, ramai sekali. Sebagian bernuansa futuristik.

Tak enaknya, metro, kendaraan umum yang sering kami pakai selama di Paris, kurang ramah terhadap pembawa kereta dorong anak seperti kami. Stasiun metronya berada jauh di perut bumi. Turun naik tangga nan panjang dan tinggi. Disambung lewat lorong-lorong temaram, dan digunakan oleh pedagang kaki lima berjualan. Sedangkan, jumlah lift atau eskalator sangat minim kala itu. Di jam-jam dan rute-rute tertentu, metronya penuh sesak. Uniknya, ada pengamen juga di dalamnya. Hal yang belum pernah kami temui di dalam metro Jerman atau metro di negara Eropa lainnya.

Sore-sore, kami memotret Eiffel dari Trocadero. Itu, yang kayak lagunya Melly Goeslaw. Di sore hari, ini tempat indah berlatar belakang Eiffel. Naik metro haltenya Trocadero. Ramai orang berpose.

Saat berkunjung ke kota berjulukan kota cinta ini, kami sedang senang-senangnya koleksi miniatur dari destinasi kunjungan. Di Paris, yang paling umum dibeli turis adalah Miniatur Menara Eiffel. Kami membeli satu. Agar tak terlalu mainstream, kami beli satu miniatur berisi tiga monumen sekaligus: Eiffel, Arc de Triomph, dan gereja Notre Dame.

Kedua kali ke Paris, Emak bareng emak-emak lainnya. Berempat. Asyik juga sesekali ladies only kayak gini. Seru-seru asyik. Sama seperti perjalanan sebelumnya. Kami tak menginap. Naik bus tur dari Aachen. Sepuluh jam-an di Paris. Mulai pukul dua siang sampai tengah malam.

Parkir busnya dekat Arc de Triomph. Waktu itu belum musim panas. Tapi tetap saja Paris ramai. Khusus emak-emak, perjalanan satu ini lebih ke wisata kuliner sambil cuci mata. Menyusuri Champ Elysee, kami sesekali potret di depan butik-butik mahal. Di jalan itu pula kami mencicipi macarons terkenal di Paris, di Patisserie Laduree. Bangunannya sedang direnovasi sebagian, kala itu. Akan tetapi tetap buka dan ramai sekali. Banyak turis Jepang. Di buku panduan, Emak lirik, ada jenis-jenis macarons Laduree.

Tentunya kami berfoto di dekat menara Eiffel lagi. Nggak naik juga hingga atas sono. Tak ada waktu buat mengantri. Mending jalan-jalan keliling. Alhamdulillah kami sempat ke masjid agung Paris. Setelahnya wisata kuliner masakan asli Perancis. Yang berlabel halal, tentunya. Enyak-enyak makanannya. Kami makan 3 courses selama 2 jaman. Porsinya keliatan dikit-dikit, eh keluar restoran kenyang banget. Harga makanannya gak murah buat Emak. Tapi puas sudah mencicipi masakan asli negeri ini.

19 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: