Mengunjungi Eropa, salah satu pemandangan yang sering kita lihat adalah kastil, istana, atau pun benteng kuno. Ukurannya dan bentuknya bervariasi. Usia mereka ratusan tahun, atau beberapa mencapai lebih dari seribu tahun. Dahulu dimiliki oleh para penguasa lokalan. Semacam raja kecil yang memiliki pasukan serta rakyat yang dibawahinya. Para penguasa ini mengabdi kepada para raja yang menguasai wilayah lebih luas.
Kini, sebagian istana atau benteng masih dimiliki oleh garis keturunan asli, sebagian dibeli oleh pemerintah setempat untuk dijadikan monumen sejarah atau museum. Kebanyakan jadi tempat wisata. Emak suka terkesima menyaksikan benteng-benteng kuno. Temboknya sangat tinggi dan tebal. Tingginya bisa mencapai belasan meter, tebal temboknya bisa mencapai 5 meter. Semakain kuat tembok sebuah benteng, makin susah ia direbut oleh musuh. Benteng-benteng seperti ini bahkan sangat besar dan luas. Tembok-tembok kota tua sekalian berfungsi sebagai sistem pertahanan.
Bangsa Venezia merupakan salah bangsa yang pandai membangun sistem pertahanan. Keluarga pelancong pernah menyaksikan kemegahan karya mereka di Siprus serta di beberapa kota sepanjang Lautan Adriatik, seperti Zadar di Kroasia dan Kotor di Montenegro. Defence system besutan bangsa Venezia di Zadar dan Kotor serta beberapa kota lainnya tahun ini masuk dalam daftar warisan budaya Unesco.
Baca juga: Dubrovnik di Musim Panas
Pertama kali menginjak kota tua Kotor lima tahunan lalu, Emak sudah dibuat berkesima oleh kota tuanya. Tembok kota tuanya unik. Kota Kotor berada di tepi laut dan lereng gunung. Tembok kota tuanya pun demikian. Dibangun sepanjang kira-kira 4,5 km dari tepian Bay of Kotor hingga lereng pegunungan di belakangnya. Dalam sejarahnya, Kotor pernah dikuasai oleh banyak bangsa. Illyria, Romawi Kuno, Venezia, Byzantium, Austro-Hungaria, dsb. Sistem pertahanan yang bagus sangat dibutuhkan.
Menurut Wikipedia, Kotor mulai membangun benteng sejak dikuasai Bangsa Illyria. Lalu dibangun kembali di abad 6 masehi oleh Bangsa Byzantium. Republic Kotor menjadi bagian Venezia di abad 15 masehi. Merekalah yang memperkokoh sistem pertahanan Kotor yang masih bertahan hingga kini. Sebagian sempat rusak akibat gempa tahun 1979, namun berhasil direkonstruksi.
Stari Grad Kotor
Emak pernah menyebut stari grad atau kota tua Kotor sebagai Venezia tanpa kanal. Suasananya mengingatkan Emak akan Venezia. Di musim panas kemarin, Kotor penuh banget turisnya. Menyaingi Dubrovnik. Bahkan ketika kami sampai di kota ini dini hari, jalanan depan Sea Gate masih ramai anak-anak muda. Dua kali mengunjungi, rasanya kok belum khatam-khatam juga kota ini bagi kami. Padahal kota tuanya gak terlalu luas juga.
Pertama datang kami masuk lewat Sea Gate, gerbang utama kota tua di depan Pelabuhan Kotor. Lalu menyusuri bagian dalam tembok sampai ke Menara Kampana. Naik ke atas tembok, kami berjalan ke arah timur, hingga gerbang Vrata od Skurde. Di dekat gerbang terdapat pohon yang banyak kucingnya. Katanya sih, nama lain Kotor, Cattaro, itu asalnya dari banyaknya kucing di Kotor.
Di masa lampau, di dalam kota tua Kotor, tak ada nama jalan. Sebagai gantinya, warga lokal memberi berbagai julukan bagi lokasi-lokasi tertentu. Misalnya saja gerbang laut, disebut sebagai tempat senjata. Sebab di sana terdapat gudang senjata dan bubuk mesiu pasukan Venezia.
Baca juga: Montenegro Revisited
Selain wilayah permukiman berupa rumah susun 3-5 tingkat di pinggir gang-gang sempit Kotor, kota ini memiliki banyak Palazzo. Jika kita perhatikan baik-baik, kita bisa menemukan nama palazzo tersebut di selembar kain berwarna merah. Hebatnya, sebagian palazzo tersebut masih dimiliki oleh garis keturunan langsung keluarga pembangunnya. Sekarang sebagian palazzo beralih fungsi menjadi penginapan, toko, hingga museum. Selain palazzo, Kotor memiliki beberapa gereja cantik.
Bagian dalam kota tua Kotor merupakan kawasan pejalan kaki. Emak juga belum pernah liat orang naik sepeda. Susah jalan. Sebagian tempat terdiri dari undakan terjal. Jalannya terbuat dari batu licin. Jalan kaki kadang bisa kepleset. Kalau membawa kendaraan sendiri, kudu diparkir di luar kota tua. Di dalam tembok terdapat beberapa hostel dan apartemen yang disewakan. Jika ingin menginap di dalam kota tua dan gak mau terlalu capek naik turun undakan, sebaiknya nyari penginapan di dekat Sea gate. Semakin ke timur kota, semakin banyak kita temui undakan. Hostel kami, Old Town Hostel Kotor di Stari Grad 284, lokasinya enak, dan strategis.
Di eksplorasi kedua kota Kotor, Emak berhasil masuk beberapa tempat, termasuk gereja dan museum. Satu museum keren di Kotor adalah Museum Maritim. Gedungnya menempati palazzo yang dulunya dimiliki Keluarga Grgurina. Museum ini menggambarkan kejayaan Boka Navy dan ketangguhan maritim Kotor. Boka Navy merupakan komunitas persaudaraan para pelaut tertua di dunia. Mulai terbentuk pada abad 10 masehi, pertama masuk Undang-Undang tahun 1463. Pertunjukan seremonial Boka Navy diadakan pada bulan Juni setiap tahunnya. Benda-benda kuno yang dipamerkan di museum ini sangat terawat. Terdapat tiga tingkat dan beberapa ruangan di dalamnya. Emak merasa melihat barang-barang yang dipakai dalam film Pirates of the Caribbean.
Hiking ke Castle San Giovanni
Agenda yang gak mau Emak lewatkan di pertemuan kedua keluarga pelancong dengan Kotor adalah hiking di Gunung St. John ke St. John Fortress. Dikenal juga dengan St. Giovanni Fortress. Atau Tvrdave Kotora. Tembok benteng kota tua Kotor panjangnya 4,5 km. Tingginya maksimal 20 meter, dengan ketebalan 2-16 meter. Masif banget. Kalau malam, bentengnya dihiasi cahaya lampu. Cakep banget. Seperti cincin bersinar mengelilingi Kotor. Puncaknya adalah fortress St. John. Di ketinggian 250 mdl. Pertama datang ke kota ini, kami gak sempat nanjak ke atas. Lagian waktu itu juga awang-awangen melihat tingginya.
“Paling butuh waktu sejam naik turun fortress-nya,” kata Slavenko, teman kami di sana.
Emak sih pesimis bakal kelar satu jam. Ngeliat dari bawah ke atas ajah, udah deg-degan. Sampai tidak? Sampai tidak? Sampai tidak? Apalagi kedua betis ini belum pulih. Dari acara naik turun ratusan undakan di Dubrovnik sehari sebelumnya.
“Pokoknya kita coba aja!” kata Emak ke Bapak. Anak-anak pilih tiduran sambil main game di penginapan. Good choice. hehehe.
Akhirnya di hari yang masih panas, sekitar pukul lima sore waktu setempat, kami menguatkan hati dan dengkul untuk hiking ke ketinggian Cattaro.
“Jangan lupa bawa air minum banyak,” pesan Slavenko.
Ndak hanya air minum, mental dan tenaga perlu disiapkan. Pun alas kaki nyaman untuk pendakian. Medannya berbatu. Sandal jepit sangat tidak cocok dipakai. Untuk menaiki sekitar 1.350 anak tangga untuk bisa sampai di fortress. Kami membayar tarif masuk 3 euro per orang ke mas-mas penjaga.
“Tenang, medannya, biasa saja, kok! Gak berbahaya,” kata si Mas Penjaga. Seakan bisa membaca raut muka ragu-ragu Emak.
Pelan-pelan, kami berdua mulai meniti undakan. Seribu lebih undakan ini terbagi dalam beberapa level. Entah semua berapa puluh level. Setiap level beda keterjalan. Yang terjal banget jarang sih. Tidak semua undakan utuh. Kebanyakan hanya bisa dilewati satu orang. Kalau ada yang mau nyalip, lewat jalan batu di tepi undakan. Dan setiap undakan beda ketinggian. Ini yang bikin kaki Emak lebih cepat capek. Selain karena kurang olah raga, tentunya.
Setiap kali selesai satu etape, Emak berhenti untuk mengambil napas. Kadang di tengah, nggak kuat, berhenti lagi. Baju udah basah oleh keringat. Banyak lelaki milih topless saat hiking di sini. Sesekali kami bertemu dengan penjual minuman dingin. Mereka berteduh di bawah pohon.
“Jalan kayak gitu malah bikin tambah capek, lho!” komentar Bapak.
“Biarin. Capek, jeee!”
Kadang kami berhenti sekalian untuk memotret. Beberapa level di atas, seluruh atap bangunan di Kotor sudah kelihatan. Sekitar sejam mendaki, kami sampai di salah satu highlight hiking, Chapel of St. Ivan. Pelataran kapel ramai pendaki yang sedang berisitirahat. Mereka duduk-duduk sambil selfie, minum, atau makan camilan. Suvenir dan minuman dingin dijual di luar kapel. Kami masuk sebentar ke dalamnya, sebelum melanjutkan pendakian.
Sejam lebih atau mungkin hampir 2 jam kami butuhkan untuk sampai di puncak benteng. Bentengnya sudah tidak utuh. Ramai juga di atas sana. Terutama anak-anak muda. Pemandangan ke Bay of Kotor dari atas sini emang ciamik. Meski agak buram karena kabut asap. Akan tetapi kami bisa memandang ke kota Kotor dan desa-desa di sekitarnya. Dua kapal pesiar raksasa sedang berlabuh. Kalau lagi ramai, katanya sehari bisa 8 kapal ada di sana. Makanya kota kecil ini ramai banget. meski capek tiada terkira, Emak senang, berhasil mengalahkan diri sendiri hingga berhasil sampai di sini.
Kami manjat sampai bagian atas benteng yang sudah tidak beratap. Mengintip lewat celah-celah tembok ke pegunungan di belakang tembok. Tak lama, seekor anjing putih datang menghampiri Emak. Meski sudah menghindar, anjing itu tetap datang. mungkin tahu, Emak takut anjing.
“Cuekin ajah,” kata Bapak.
Ya gak bisa Emak cuek. Kami melipir turun, eh anjingnya ikutan turun gunung. Meski kemudian ia ngeloyor ke bawah sendirian. Kelamaan kali kalau kudu nungguin Emak. Baliknya, kami lewat jalan lain. Ada sebuah persimpangan di tengah jalan. Hari mulai gelap, namun ada beberapa yang baru mulai pendakian. Penjaga yang mengutip bea masuk sudah tak ada. Sehingga orang bisa naik dengan gratis. Memang ada tips dari sebuah blog, jika ingin gratis bisa naik pagi-pagi banget atau sore banget. Oh ya, kabarnya juga ada orang yang nginep di atas sana, loh. Terdengar seru, yaks.
Indahnyaaaa pemandangan dari atas benteng. Pernah dapet postcard dari Starring You, dan ada videonya. Barusan aku cek, sepertinya lokasinya sama.
Pas ke Tidore, kita ada turun/naik kawasan perbukitan gitu. Ngap banget rasanya. Diajarin sama Rifqy papanpelangi, jalannya zig-zag. Ntah sugesti atau apa, emang jadinya gak mudah capek. Ditambah lagi bantuan ranting untuk penyanggah.
Mesti banyak olahraga nih kalau orang kayak aku main ke benteng ini. Cakep banget.
@Cek Yan: sepanjang perjalanan kami di Semenanjung Balkan kemaren, kami ketemu banyak kastil cakep. Sayangnya, tenaga kurang buat mendaki semuanya. Cuma satu dua saja yang kami jabanin. Betolll, kudu melatih kaki kalau mau mendaki ke atas kastil. Makasih tips-nya, kapan2 dicobak jalan zigzag..
Aku mikirin gmn cara nya orang dulu ngebangun benteng ini ya :D. Gila tebel banget gt dindingnya.. Tp walo hrs mendaki susah payah ke atas, aku jg bakal jabanin mba asal pemandangannya sebagus itu :D. Ga rugi capeknya
@Fanny: yoi, orang zaman dahulu gak kalah hebat, yaks. Dengan peralatan ynag belum moderen bisa bikin konstruksi yang tahan ratusan tahun.