Ski Arena Willingen

Salju Pegunungan Eifel mulai mencair. Pusat olah raga musim dingin di sini tutup. Hellenthal minggu lalu masih ada salju. Akan tetapi kualitas saljunya tidak bagus buat main ski. Tutup juga.

Kami masih ingin belajar ski musim dingin saat ini. Terutama si Adik, yang selalu bertanya, kapan kami main ski lagi. Kami putuskan ke daerah Winterberg lagi. Di dekat Winterberg, daerah bernama Willingen, juga terdapat pusat olah raga musim dingin. Walau tak seluas Winterberg. Ada yang bilang, Willingen lebih sepi dibanding Winterberg. Ya kami coba saja ke sana. Sekalian cari suasana baru.

Dari rumah, Willingen berjarah lebih dari 230 km. Sekitar 2,5 jam ditempuh dengan mobil. Rencana awal mau berangkat jam 7 pagi. Nyatanya hampir jam 8 baru masuk mobil. Alhamdulillah, perjalanan lancar sampai tujuan. Karena baru pertama kali, kami lewati jalan tol asing. Namun Emak senang setiap kali melihat hal-hal baru di jalan. Kota-kota baru, landmark unik, dsb. Semuanya memperkaya perjalanan kami.

Emak, Adik, dan Embak, semuanya sempat tertidur di perjalanan berangkat. Adik terbangun kira-kira seperempat jam sebelum sampai.

“Kita di mana ini?” tanyanya.

“Sudah mau nyampai, Dik,” jawab Emak.

“Kok belum ada salju?”

Eh, iyah juga, yah. Kami telah melewati jalan-jalan mengular khas pegunungan. Tapi saljunya masih jarang. Ada pun sangat tipis.

Setelah melewati beberapa desa, kami sampai di Willingen. Di resor skinya langsung terlihat hamparan putih di kejauhan. Kami kaget. Biuhhhh, kata siapa Willingen sepi? Hari itu ramai-ramai sekali. Berkali kami berputar mencari sepetak lahan parkir. Nggak ketemu juga. Akhirnya dapat tempat parkir jauh dari pusat main ski. Sekitar 500-an meter.

Di areal main ski, udaranya baru frost. Jalanan yang terlihat becek, saat dilewati ternyata beku. Bapak sempat kesulitan mengendalikan mobil. Mundur sebentar untuk mengubah posisi parkir, gak bisa maju lagi. Bannya muter, tapi gak bisa jalan, karena licin. Bisanya mundur. Akhirnya beliau pindah tempat parkir.

Kegiatan mencari parkir dan pasang sepatu ski memakan waktu lumayan lama. Tiba-tiba waktu masuk setengah dua belas. Kami berjalan ke arah tempat main ski. Huaaaaa, rame minta ampun. Di mana-mana orang bergerombol. Paling banyak di depan loket pembelian tiket ski. Kami keder. Mau beli tiket aja mengantri panjang gini. Kapan main ski-nya. Antrian mau naik gondola gantung dan lift ski juga lumayan.

Bapak dan Emak diskusi. Enaknya bagaimana, yah. Lalu Bapak melongok ke kompleks ski sebelah, di Ritzhagen.

“Kayaknya di sana lebih sepi, tuh! Kita ke sana saja, yuk!” ajak Bapak.

“Tapi jauh juga kalau jalan kaki ke sono. Mana pakai sepatu ski, nih. Ambil mobil aja, lah!” usul Emak.

“Ntar kalau di sono susah nyari parkiran gimana?”

“Iya juga, sih. Yuk ah, cepetan diputuskan. Waktu kita abis, nih. Jam setengah lima mereka sudah tutup.”

Kami putuskan jalan kaki. Pakai sepatu ski yang berat sambil menenteng papan dan tongkat ski. Emak bilang, Skischuhewanderung. hehehe. Ada mungkin setengah jam-an kami baru sampai di Ritzhagen. Sampai di sana, gak langsung main. Kelaparan. Buka bekal dulu. Makan roti, nasi dan sambel dari rumah. Usai makan, sudah hampir jam satu siang.

Bapak dan anak-anak beli ski pass mulai berlaku sejak pukul satu siang. Emak beli tiket dengan sistem poin. Punya Emak kartu tebel dan ada jaminannya, kalau habis bisa diisi ulang atau dikembalikan kartunya. Poinnya berlaku sampai dua tahun.

(bersambung)

 

 

5 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: