Sebenarnya Emak tak terlalu mengikuti berita Perang Bosnia secara intensif. Hanya membaca dan mendengar berita-berita saat itu terjadi. Itupun sudah banyak Emak lupakan. Yang Emak ingat adalah di Balkan pernah terjadi kekejaman luar biasa, pembantaian ratusan ribu manusia. Saat akan datang ke Bosnia Emak tidak sempat membaca sejarah. Tapi ada satu tekad, kami harus ke Srebrenica.
Kalau dicek di google map, Sarajevo-Srebrenica bisa ditempuh selama 2 jam. Namun kata Retno, biasanya malah 2,5 – 3 jam menuju kesana. Jalannya jalan pegunungan yang penuh kelokan, kata Retno lagi.
Sarajevo sedang berkabut di pagi hari saat kami berangkat. Tampaknya lebih dingin dibanding hari sebelumnya. Kami mengandalkan hape Lia. Sebab kedua GPS bawaan tak ada yang berfungsi sebagai mana mestinya. Mereka tak kenal jalan-jalan di Bosnia. Untunglah google map di hape Lia sangat tangguh. Sinyal GPS menembus gunung-gunung di sana.
Perjalanan menuju Srebrenica adalah petualangan tersendiri. Benar sekali kata Retno, kami berkendara naik turun gunung. Tak hanya sekali. Berkali-kali. Belum ada jalan tol ke arah sana. Kecepatan maksimal 80 km/jam. Jarang-jarang juga secepat itu. Harus lebih berhati-hati menyusuri perbedaan kontur bumi. Jika lewat lembah, kami diserang kabut tebal. Di atas gunung malah terang dan hangat. Suhu berubah cepat. Antara 5 sampai -10°C. Di satu tempat Bapak melihat polisi memberi tanda kami untuk berhenti. Ketika kami berhenti, dia menggeleng dan menyuruh kami segera berlalu.
Kami mengambil jalan yang ternyata memutar dan medannya berat saat berangkat. Sempat lewat jalan pertambangan beraspal minim. Ketemu truk-truk besar di jalanan sempit. Bagian luar mobil langsung berubah coklat. Tak ada rumah penduduk. Di desa-desa sebelumnya, kami masih melihat jelas bekas-bekas perang. Rumah-rumah dengan lubang-lubang peluru di temboknya. Ada pula yang tinggal kerangka saja terkena senjata lebih berat. Sebagian rumah sudah diganti tembok-tembok baru. Listrik sudah merata di mana-mana.
Mendekati Srebrenica, medan tak bertambah mudah. Kami lewat jalanan yang hutannya berpagar. Ada larangan masuk dan tengkorak disilang warna merah. Di buku panduan Emak pernah membaca, masih banyak ranjau di Bosnia. Jangan coba-coba lewat jalan tak biasa.
Srebrenica desa kecil dikelilingi gunung, tak jauh dari perbatasan dengan Serbia. Salju menumpuk di pinggir jalan. Azan zuhur berkumandang tepat saat kami memasuki kota. Kami mampir masjid sebentar. Lalu kebingungan sendiri. Emak yang pegang buku panduan baru sadar di dalamnya tak tercantum peta Srebrenica. Hanya satu cerita tentang seorang penjahat perang dalam pembantaian di kota kecil ini. Mau bertanya tak enak juga. Kekejaman seperti itu pastinya menjadi trauma bagi banyak orang. Kantor informasi turis dekat masjid digembok besar.
Tak ada tanda-tanda atau petunjuk tentang keberadaan monumen yang Emak lihat di internet. Kami melihat rumah-rumah dengan sisa-sisa peluru dan kantor bekas PBB. Di usat kota beberapa lelaki sednag menyiapkan pohon natal besar. Sehari jelang natal. Memang lokasi sebenarnya di Potocari, kata Mas Riza. Sebenarnya ada dua tempat,s ebuah gymnasium dan sebuah stadion, dimana tragedi berkorban ribuan pernah terjadi. Sayangnya, tak ada tanda-tanada di mana. Dua kali memutari kota, kami putuskan langsung ke arah pulang lewat Potocari. Kami sempat berhenti sebentar di sebuah stadion terbuka. Entah itukah yang dimaksud dalam sejarah.
Memorial Potori terletak di tepi jalan. Mudah ditemukan. Hanya ada satu mobil lain terparkir di dekat kami. Namun di dalamnya kami lihat beberapa wanita berkerudung dan lelaki sedang berziarah. Nisan-nisan putih menjulang setinggi kira-kira semeter. Delapan ribu tiga ratus tujuh puluh dua titik-titik. Itu korban tercatat. Jumlah korban sesungguhnya, hanya Allah Maha Tahu. Lima puluh tahun, tiga puluh tahun, enam belas tahun usia mereka ketika wafat. Awalnya dikubur dalam satu lubang. Ditutup, dan sempat ada usaha pelaku untuk menghilangkan jejak.
Melihat makam korban perang dikuburkan bersama, nisan-nisan putih dan hijau menjulang. Berisi nama, tahun kelahiran dan kematian, dan tulisan al-fatihah bagi mereka yang muslim, hanya kesedihan yang terasa. Bahkan Si Adik menjadi takut, lalu banyak bertanya tentang kematian. Sejak saat itu, dia sangat tertarik akan kuburan. Setiap melihat masjid pasti bertanya ada kuburannya apa tidak.
Yang paling membekas di hati dalam kunjungan ke Srebrenica adalah sebuah doa ulama di Srebrenica di sebuah monumen tinggi. Terjemahan bebasnya seperti ini :
Dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kami berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa, semoga kesedihan menjadi harapan, semoga pembalasan menjadi keadilan, semoga air mata ibunda menjadi doa, agar peristiwa Srebrenica tak terjadi lagi, Dimana pun, pada siapa pun.
merinding bacanya…terimakasih mbak ira u postingan ini…
Sama2, Mbak…
peristiwa yang menyedihkan seperti peristiwa Srebrenica memang tak boleh terjadi lagi, Dimana pun, pada siapa pun.
aamiin..
salam kenal emak dan keluarga pelancong
saya sdh lama jadi silent reader Keluarga Pelancong. artikel2nya menarik2. tp yg satu ini membuat saya begidik. salut buat keluarga pelancong yg mau menjalajah tempat2 anti mainstream
@Mala: aihhhh jadi tersipu malu, nih. Terima kasih banget apresiasinya, yah…