Terhanyut Melankoli Budapest

Pernah suatu ketika kami sekeluarga mengobrol tentang Praha dengan salah satu teman Bapak. Praha sangat indah, tapi Budapest lebih lagi, katanya waktu itu. Dan setelah membuktikan keindahan Praha, maka serta merta, Budapest-pun masuk dalam daftar kota yang ingin kami kunjungi waktu itu. Baru bertahun kemudian, tepatnya pertengahan musim panas tahun 2007, keinginan tersebut tercapai.

Budapest, baru kami tahu, adalah gabungan dari nama tiga bagian kota, yakni Buda, Pest, dan Obuda. Ketiganya dipisahkan oleh Sungai Donau. Ternyata benar, Budapest tak kalah indah dibanding Praha. Istana, bangunan-bangunan tua, jalanan bersejarah. Semuanya menyatu dengan modernisasi di kota ini. Kunjungan tiga hari tiga malam kami di Budapest, sarat dengan kesan.

Dari Wina, kereta api pengangkut melaju sekira dua jam. Di perbatasan kedua negara, rombongan polisi memeriksa dan menyetempel paspor kami. Dari kereta api, terlihat jelas perbedaan antara negara Eropa Barat dan Timur. Perumahan dan suasana kota di timur masih terlihat terbelakang. Mesti pembangunan berlangsung gencar.

Keliling Budapest

Menjelang sampai Budapest, dua orang pemuda yang mengaku berasal dari turis informasi menawarkan penginapan kepada kami. Kami katakan kami sudah booking sebelumnya. Di sore hari yang sangat panas itu, setelah dehidrasi di Wina, sampailah kami di ibukota Hungaria. Tak hanya di dalam kereta, belasan orang tampak para mendatangi para turis termasuk kami. Menawarkan kamar atau penginapan. Tampaknya turisme telah menjadi bisnis menggiurkan bagi mereka. Kami menukar uang dan mencari tahu di kantor turis yang nyempil di pojokan stasiun serta membeli tiket bus untuk kami pakai ke penginapan. Serta mampir membeli minuman dingin di satu supermarket kecil depan stasiun.

Agak ribet menggunakan sarana transportasi umum di sini. Meski punya gambar rutenya di buku panduan wisata bawaan, kami mesti bertanya ke beberapa orang sebelum memastikan naik bus nomor berapa kesana. Penginapan kami ternyata terletak di wilayah perbukitan di Buda. Di sebuah apartemen mahasiswa yang sebagian disewakan bagi para pelancong.

Rute pertama kami adalah kompleks wisata di perbukitan Buda. Pertama adalah Zitadelle, yang jaraknya sebenarnya hanya sekitar satu kilometer dari penginapan. Namun karena harus naik-naik ke puncak bukit plus cuaca panas sekali, rasanya tak sampai-sampai kami di atas bukit. Sampai disana, tak rugi memeras keringat dan bersusah payah. Sebagian kota Budapest dibelah Sungai Donau terlihat sangat menawan. Di pagi hari itu, suasana Zitadelle sudah ramai oleh ratusan turis. Selain tempat asyik untuk memotret Budapest dari ketinggian, di kompleks ini ada Monumen Peringatan bagi Bischof Gellert. Berdinding batu besar dan tinggi, kami hanya menikmatinya dari luar.

Kami mengisi botol minuman kosong kami dari sebuah kran air minum gratisan sebelum menuruni jalan setapak untuk berpindah ke arah kompleks perbukitan sebelahnya, sebuah kompleks perbentengan. Kami naik dari sebuah gang mendaki, disambung dengan sebuah tangga kayu tua. Rasanya seperti mau memasuki abad pertengahan saja.

Di dalam tembok benteng, para turis sangatlah ramai. Sebagian besar memilih duduk-duduk di kafe, restauran atau berteduh di bawah pohon di tengah cuaca panas menyengat. Deretan toko cinderamata menawarkan souvenir beraneka rupa. Harganya relativ mahal di daerah ini. Kami menyeberang, melewati rumah-rumah tua, menuju Fischerbastei dan sebuah gereja mirip Dom di Köln. Terbiasa melihat arsitektur gerejanya, kami lebih memilih menengok lebih jelas di Fischerbastei, sebuah bangunan bergaya abad pertengahan nan romantis. Warnanya didominasi warna putih. Ada ruang-ruang bawah tanah yang bisa dimasuki pengunjung. Dari sinilah, bagian kota Pest di seberang sungai terlihat dari kejauhan. Disini juga tempat yang tepat untuk memotret gedung megah parlemen. Sebuah gedung parlemen terbesar dan terpanjang di Eropa, tampak seperti istana saja. Penggemar museum bisa memuaskan diri dengan mengunjungi enam museum berbeda di dalam kompleks.

Siangnya, kami menyeberang ke arah Buda berkendara bus kota. Tepat di pinggir Donau, di jantung ibu kota berdiri hotel-hotel mewah. Restaurannya memiliki bangku-bangku di luar gedung hingga menjorok mendekati sungai. Memungkinkan setiap pengunjungnya menikmati perbukitan Buda dan menyaksikan kapal-kapal pesiar, perahu motor yang lalu lalang di badang sungai. Tak jauh dari para pengunjung restauran tampak belasan pedagang menawarkan cinderamat buatan tangan. Pemandangan sangat kontras. Kami menyempatkan diri berfoto dengan latar belakang Kettenbrücke, jembatan legendaris dengan tiang-tiang penyangga dibangun dari bebatuan berhias dua patung singa putih di kedua sisi depannya. Berbeda dengan jembatan terkenal lai di Praha, Karluv most, jembatan ini juga dilewati oleh mobil-mobil. Jarang pejalan kaki menggunakannya untuk menyeberang menuju Buda. Ketika hari gelap, kami masih berjalan-jalan di pusat kota. Ditemani iringan biola seorang pemusik jalanan. Menikmati malam hari Budapest nan hangat.

Besoknya, perjalanan kami awali dari Lapangan Pahlawan, sebuah lapangan beton luas dan monumen-monumen sangat tinggi. Dibangun untuk mengenang para pahlawan Hungaria. Tepat di sebelahnya, berdiri museum berarsitektur indah berwarna merah. Susah mengambil foto keseluruhan Lapangan Pahlawan saking luasnya. Apalagi kami tak punya lensa khusus untuk itu. Apalagi dengan banyaknya turis lain berseliweran kesana-kemari.

Jalan besar di seberang Lapangan Pahlawan, adalah Andrassy ut, jalan masyur yang diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Dari sisi kanan jalan, yakni jalan khusus pejalan berpelindung pohon-pohon tinggi dan memiliki deretan bangku taman, kami terus mengukur jalan. Mengeksploari bangunan-bangunan tua, gedung-gedung milik kedutaan negara-negara lain, bank-bank, gedung-gedung tua bobrok, para gelandangan di bangku-bangku taman, pertokoan, teater, bunga-bunga indah. Semuanya ada disini. Memang tak semuanya indah. Namun auranya membuat perasaan jadi melankolis….

9 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: