„Sema adalah makanan bagi pecinta Allah, di dalamnya berisi bumbu untuk ketenangan pikiran,” Jalaludin Rumi.
Keinginan mengunjungi kota Konya, kota tempat pusara Jalaludin Rumi berada, mesti dikubur ketika keluarga pelancong berkunjung ke Istanbul. Waktu nyaris seminggu tak cukup dipakai menjelajah isi Istanbul. Sedang Konya lumayan jauh. Bisa semalaman jika naik bus umum.
“Jangan kuatir, kalian bisa nonton Sema di banyak tempat di Istanbul. Di stasiun kereta api Sirkeci juga ada. Agak miring tarif masuknya,” kata seorang sahabat di Turki yang Emak mintai pendapat.
Sema adalah zikir, upacara religi kaum sufi Mevlevi. Mevlevi adalah julukan yang diberikan kepada para pengikut Mawlana Jalaludin Rumi. Saat ini, anggota Mevlevi tersebar di seluruh dunia. Mereka juga disebut sebagai penari darwis.
Sema berasal dari kebiasaan Rumi yang seringkali berputar dalam kebahagiaan di jalanan Konya, ibukota Turki Seljuk. Rumi meninggal tahun 1273. Ajaran Rumi diteruskan oleh keturunan dan para muridnya. Tekke atau asrama para penari darwis berdiri di seantero Turki ketika Dinasti Usmaniyyah berkuasa. Sempat ditutup ketika Republik Turki mulai berdiri dan Attaturk berkuasa, kini Mevlevi dihidupkan kembali sebagai organisasi budaya.
Di Istanbul, kami mendapatkan beberapa informasi tentang pertunjukan Sema. Di stasiun Sirkeci ada setidaknya tiga pertunjukan seminggu. Ada pula di pusat budaya Hodjapasha dan di bekas tekke penari darwis di Galata Mevlevihanesi. Yang disebut terakhir berfungsi pula sebagai museum Mevlevi. Kami mengunjunginya selama beberapa jam.
Museum ini terletak di daerah Beyoglu, Istanbul sisi Eropa, dekat jalan masyhur Istiklal. Punya kartu museum, Emak boleh langsung masuk. Didirikan tahun 1471 di bawah pemerintahan Sultan Beyazit II, ini adalah tekke tertua dan satu-satunya di Istanbul. Setelah terbakar, ia dibangun kembali tahun 1796, dan beberapa kali kali direnovasi. Di dalam museum, kita tak boleh memotret dengan blitz.
Dari luar, bangunan berarsitektur Usmaniyyah berdinding terang ini tampak seperti gedung biasa. Ada penjaga berseragam dekat pintu masuk. Isinya adalah beberapa barang peninggalan para penari darwis. Replika kamar, turban, alat-alat makan, tongkat, busana, Alquran, bejana logam, seni kaligrafi, puisi, alat musik, hingga satu kopi Masnavi-ye Manavi, salah satu karya besar Rumi. Di satu ruangan sempit dan gelap, tergambar visualisasi seorang penari lengkap dengan musik sufi pengiringnya.
Di lantai dasar, kami temukan aula luas berlantai kayu dan beratap keemasan tempat pertunjukan. Penonton bisa menyaksikan Sema dari lantai dasar maupun lantai atas. Perlu diingat, etika menonton pertunjukan seperti ini. Walau disajikan dalam bentuk tarian, Sema sejatinya adalah zikir, sarana pengingat dan pendekat kepada Sang Esa. Sebaiknya tak memotret dengan blitz seenaknya atau ribut ketika ia berlangsung.
Banyak kendala Emak rasakan saat hendak menonton Sema secara langsung saat itu. Kalau tidak tiketnya terasa mahal, anak kecil kami tak boleh ikut menonton. Di malam terakhir kami di Istanbul, tiba-tiba kawan seperjalanan menghubungi lewat WhatsApp.
„Ada pertunjukan gratis di Kafe Mesale, pukul 8 malam setiap hari,“ demikian bunyi pesannya. Setengah delapan malam, kami berjalan bergegas menuju alamat tujuan. Padahal kami belum tahu pasti tempatnya. Jalan, terus nanya-nanya, pikirEmak. Untungnya ia mudah ditemukan. Sebuah kafe outdoor di Bazar Arasta dekat Masjid Sultanahmet. Membeli makanan dan minuman sekadarnya, penonton disuguhi pertunjukan satu penari. Banyak orang malah milih gratisan. Mereka berdiri sambil menonton di luar kafe.
Mulanya, dua orang pemain musik dan seorang biduan menyanyikan lagu dalam bahasa Turki. Terdengar seperti puji-pujian. Berhenti sejenak, seorang lelaki muda berjubah hitam berjalan pelan di panggung kecil di tengah kafe. Musik dan lagu mengalun kembali. Ritme musik melambat, terasa syahdu.
Sang penari menundukkan muka, membuka jubah hitam. Terlihat pakaian putih lengan panjang, dipadu bawahan mirip rok lebar. Paling dalam celana yang juga putih. Kepalanya tertutup topi tinggi simbol batu nisan. Sedang jubah hitam melambangkan makam.
Tangannya terlipat di dada. Pelan-pelan keduanya terbuka, membentang ke atas, matanya tertutup. Makin lama, kedua tangan membentang lebar, mirip kepakan sayap burung. Tubuhnya berputar , kepala miring ke kanan. Awalnya pelan, lalu makin cepat. Telapak tangan kanan menghadap ke atas. Bersiap menerima barokah Ilahi. Telapak kiri menghadap ke tanah. Membagikan barokah Ilahi ke bumi. Sebuah posisi yang dipercaya bisa menghubungkan langit dengan bumi.
Lama sekali sang penari berputar. Lebih dari sepuluh menit, tanpa henti. Rok panjangnya terangkat tinggi. Sementara musik dan lagu terus mengalun mendayu-dayu. Saat lagu berubah menjadi instrumentalia, pelan-pelan tangannya kembali bersilang di depan dada. Pujian-pujian kembali mengalun, menandai usainya zikir Sang Darwis.
Magis! Aku bisa bayangkan gimana aku jika menyaksikannya langsung, pasti terhipnotis.
Subhanallah. Begitu menyatu antara fisik dan jiwa. kalau nggak biasa bisa puyeng kepala. pening. kalau ke turkey pingin lihat yang satu ini.
@Mbak Rien: Bener, Mbak. Padahal ini nontonya di kafe yang rame. Apalagi kalau nonton pertunjukan khusus sema yang penarinya banyakan.
@Zulfa: Yoiii… sema kuwi yo meditasi pisan. Yen ora bener, pasti puyeng, sak menit rong menit langsung ambruk, brukkk…
Ckckck ping nyoba belajar mbak … Ben tulisanku keren koyok rumi 🙂
@Zulfa: aamiin… ben puitis ngunu, yooo
Kok bisa gak pusing ya mak..