Thessaloniki, Yunani

Thessaloniki, adalah kota bersejarah panjang silih berganti. Didirikan oleh peguasa Makedonia , Kassandros,  315 tahun sebelum masehi, yang menamakannya sesuai nama istrinya, Thessalonike, saudari tiri Aleksander Yang Agung. Bangsa Romawi, Kekaisaran Byzantium, Bangsa Venezia, dan Kekalifahan Turki Usmani pernah menguasai wilayah ini.

Tak heran jika kota ini masih menyimpan beragam peninggalan bersejarah dari berbagai bangsa. Ditunjang oleh lokasi strategisnya di pinggir Teluk Thermal, kota ini sangat strategis sebagai kota pusat pelabuhan dan perdagangan. Kaisar Romawi Galerius, menjadikannya sebagai ibu kota di wilayah timur. Setelahnya, berubah menjadi kota terbesar kedua di Kekaisaran Byzantium setelah Konstantinopel (Istambul). Dan tetap bertahan dalam dominasi Ottoman.

Kami sekeluarga menjelajahi Thessaloniki dalam dua hari berbeda. Hari pertama dan ketiga di Yunani. Diselilingi  perjalanan sehari semalam ke ibu kota Yunani, Athena. Dari dalam pesawat terlihat struktur geografis daratan Yunani yang berbukit-bukit. Demikian pula Thessaloniki. Berpenduduk sekira sejuta jiwa dan menyandang gelar sebagai kota terbesar kedua di Yunani. Warganyanya bermukim di kota bagian bawah dan atas perbukitan.

Berbekal peta kecil di buku panduan wisata yang kami bawa dari Jerman kami menjelajahi kota Thessaloniki. Meski tak terlalu lengkap, peta ini menunjukkan secara pasti posisi obyek-obyek wisata utama di kota.

Obyek wisata pertama, Menara Putih tak seputih warnanya, karena pengaruh sang waktu. Bentuknya bundar setinggi kira-kira 25 meter. Dibangun oleh  rezim Usmani dibawah kekuasaan Sultan Sulaiman (1520 – 66), yang memanfaatkannya sebagai kubu pertahanan, garnisun dan penjara. Saat ini bangunan bersejarah ini berfungsi sebagai  Museum Budaya Byzantium. Tutup ketika kami berada di sana.

Berjalan di promenade Teluk Thermal dekat menara, dengan laut di sisi kiri dan jalan raya beserta apartemen-apartemen tinggi di sisi lain, membuat kami bisa menyimak sedikit tentang cara hidup warga Thessaloniki. Jalan raya satu jalur selalu ramai oleh kendaraan bermotor. Emak perhatikan, sebagian besar jalanan di sini memiliki satu jalur. Sebagian besar ruang terbawah apartemen di seberang promenade berfungsi sebagai kafe. Mereka terlihat nyaman. Dengan sofa-sofa empuk menghadap jalan raya. Sepertinya, warga Thessaloniki suka nongkrong di kafe. Hampir tak ada terlihat kafe kosong. Mereka makan minum di atas sofa sambil mendengarkan musik hingar-bingar.

Dinamai berdasarkan filsuf terkemuka Yunani, Lapangan Aristoteles merupakan tempat terbuka yang berkesan elegan. Tempat ini dipotong oleh 3 avenue diselingi taman-taman bunga. Bentuknya mirip botol. Kafe-kafe memenuhi sisi lapangan dan di tengahnya terdapat banyak bangku umum untuk melepas lelah. Belasan sepeda motor terparkir di mulut lapangan.

Kami meneruskan perjalanan, mendaki ke arah jalan Agio Dimitriou, menemukan gereja kuno Agios Dimitrios. Saat Turki berkuasa, gereja ini beralih fungsi menjadi sebuah mesjid.

Jalan Agio Dimitriou adalah jalan besar satu jalur yang ramai oleh kendaraan, dan pedagang di kedua sisinya. Sama seperti jalan di pusat kota lainnya, jalan ini juga dipenuhi kios dan toko-toko. Juga tempat makan. Namuan ukurannya lebih kecil. Setiap toko menjual satu dua macam produk. Misalnya toko buah dan sayur, toko sepatu, dsb.

Berjalan di dalam perkampungan padat perumahan membuat kami bingung dan sempat kesasar. Padahal Tembok Byzantium telah kami temukan di dekat rumah penduduk, namun jalan keluar menuju Kastro belum juga terlihat. Syukur seorang ibu tua memberi tahu jalan keluar kepada kami. Berbahasa Yunani, tapi kami mengerti maksudnya.

Senangnya ketika kami sampai Menara Trigonios melalui Gerbang Anna Paleologina. Hampir seluruh bagian kota Thessaloniki terlihat di sini. Jalan menuju puncak menara batu berbentuk lingkaran tersebut ditutup. Ada sebuah taman dan bangku umum di depan menara. Belasan orang sedang duduk-duduk menikmati pemandangan kota di bawah. Matahari nyaris tenggelam.

Kami telah kehilangan energi untuk meneruskan ke Eptapirgio,  menara bekas penjara di masa lampau. Dan memutuskan turun melalui jalan berbeda, langsung menuju stasiun kereta. Berjalan kaki menikmati suasana malam di jalanan Thessaloniki.

Hari berikutnya kami di Thessaloniki adalah di siang hari, sepulang dari Athena. Rute Athena – Thessaloniki kami lalui dalam sebuah kereta api ekonomi berdurasi hampir enam jam. Kereta padat penumpang sejak dari Roma. Meski demikian tak ada penumpang berdiri. Perusahan Kereta Api Yunani tak menjual karcis bebas tempat duduk. Kami kecele, telah membayangkan indahkan pemandangan dari dalam kereta api. Meski cukup permai, pemandangan sepanjang jalan didominasi oleh pegunungan, perbukitan, daerah pertanian, dan perkebunan buah Zaitun. Agak hambar. Jarang sekali kami lewati kota besar. Kereta sesekali berhenti di sebuah stasiun kecil. Hanya kota Larissa terlihat sangat indah. Dengan bentuk rumah-rumah unik. Setiap rumah punya ruang terbuka lebar di lantai dasar. Mirip rumah gantung.

Dua jam, sangat singkat mengingat kami berniat berjalan kaki menyusuri Jalan Egnatia, dimana obyek-obyek wisata kuno banyak bertebaran. Embak tertidur di dalam kereta dorong. Kami berjalan cepat. Memotret Mesjid Hamza Bey yang sedang direnovasi, Basilika Archiropitos, Agia Sophia, Rotonda dan Busur Galerius, peninggalan mantan Kaisar Romawi. Sesaat sebelum mencari halte bus, kami sempatkan pula memotret reruntuhan Istana Kaisar Romawi di Odos Gounari.

Tak banyak waktu tersisa ketika kami mencari halte bus menuju bandara. Letaknya jauh di setelah taman dekat Menara Putih. Kami setengah berlari, khawatir ketinggalan bus dan terlambat sampai bandara. Syukur hal tersebut tak terjadi. Kami malah check in lebih awal. Juga sempat menyantap salat khas Kreta di rumah makan bandara.

5 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: