Ini enaknya berada di daratan Eropa, tempat banyak negara berkumpul hampir tanpa batas. Kita bisa pergi ke luar negeri dengan mudah. Apalagi bagi sekumpulan negara Schengen, dimana kami yang tinggal di Jerman tak perlu mengajukan visa lagi untuk berkunjung. Perjanjian Schengen ditandatangani oleh 30 negara di tahun 1985, dan hingga saat ini diaplikasikan oleh 28 negara, yakni Belgia, Jerman, Perancis, Luxemburg, Belanda, Portugal, Spanyol, Italia, Austria, Yunani, Denmark, Finlandia, Eslandia, Norwegia dan Swedia, ditambah negara-negara baru Uni Eropa.
Di tahun 2003, keluarga pelancong melakukan perjalanan di tiga kota dalam tiga negara, yakni Aachen di Jerman, Liege di Belgia, dan Maastricht di Belanda. Perjalanan ke Maastricht sebenarnya tak ada dalam agenda kami sebelumnya. namun karena kami membeli tiket euregio yang berlaku di ketiga kota tersebut dalam satu, kami tak mau lewatkan mengunjunginya di sore harinya. Waktu itu, tiket euregio bisa dibeli seharga 12 euro. Di hari Sabtu dan hari libur, tiket ini berlaku bagi dua orang dewasa beserta maksimal tiga ana-anak. Dengannya para penumpang boleh naik bus atau kereta api di zonang meliputi tiga daerah berdekatan di tiga negara di atas. Aachen – Liege berjarak hampir sejam dengan kereta ekonomi. Liege – Maastricht malah kurang setengah, dengan kereta api juga. Sedangkan Maastricht – Aachen dengan bus, berjarak kira-kira satu jam.
Jika memiliki mobil sendiri, kita malah bisa ke titik perbatasan ketiga negara, disebut Dreilaendereck alias sudut tiga negara. Kawasan ini merupakan salah satu tujuan wisata bagi penduduk ketiga negara. Persis di perbatasan ketiganya berdiri sebuah tugu, tempat para turis berfoto dengan satu kaki di Belanda, lainnya di Jerman atau Belgia. Di tempat ini, kita bisa mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa Jerman maupun Belanda. Di tempat bermain anak yang luas, anak-anak dengan bahasa dan bangsa berbeda saling berinteraksi.
Hari mendung ketika kami berangkat dari Aachen. Kami menginap di apartemen seorang kenalan selama di sana. Karena hari Sabtu itu Jerman sedang libur, maka sulit sekali mendapatkan bus kota ke arah stasiun, Karena tak ingin kesiangan sampai di Liege, kami putuskan menggunakan taksi.
Kereta ke Liege telat setengah jam lebih. Kami bete berat. Duh, kereta api Eropa sering molor juga ternyata. Kami lupa bagaimana bentuk kereta api Belgia tumpangan kami. Yang jelas, eksterior dan interiornya lebih primitif dibanding kereta api ekonomi Jerman. Malah mirip kereta api di Indonesia.
Stasiun utama Liege bernama Liege Guilemnis. Di bagian depan stasiun ada pusat informasi turis dimana kami dapatkan sebuah peta kota unik. Peta ini gampang dibaca dan mennjukkan situs-situs utama kota Liege. Pusat kotanya bisa dicapai dengan jalan kaki kok, kata si embak petugas di pusat informasi. Di dekatnya ada tempat foto gratis yang bisa dikirimkan melalui email. Cuaca di Liege hari ini setali tiga uang dengan Aachen, mendung disertai hujan rintik-rintik.
Kami berjalan ke arah pusat kota melalui rute terdekat di peta. Di Liege sedang ada pasar malam atau suatu perayaan rupanya. Di beberapa ruas jalan menuju jantung kota terlihat kedai-kedai non permanen dan tempat-tempat bermain khas pasar malam. Ada komidi putar, komidi angin serta gerobak-gerobak penjual makanan dan minuman. Mereka masih belum membuka gerainya ketika kami sampai di sana. Kami berjalan sembari berfoto-foto di depan gedung-gedung tua atau taman kota Liege. Jika capek, bangku-bangku umum tersedia di berbagai lokasi. Kota ini mungkin sama besarnya dengan Bremen. Cukup ramai. Gedung-gedungnya seperti kota-kota di Eropa pada umumnya. Bagi kami, tak ada yang terlihat khusus di Liege.
Kami juga tak terlalu ingat kami kemana saja selama di Liege. Kami belum punya kamera digital. Tak banyak foto kami hasilkan waktu itu. Kalaupun berfoto, pasti dengan salah satu atau dua dari kami jadi modelnya. Seingatku kami sempat duduk di sebuah tempat di pusat kota, dimana orang banyak berkumpul. Selanjutnya, kami hanya menjelajahi beberapa gedung kuno kota Liege dan berjalan-jalan di pusat pertokoan kota. Karena tak banyak waktu kami habiskan di Liege. Setelah mendapatkan sedikit informasi di stasiun Liege, kami putuskan segera meluncur ke Maastricht.
Hujan tercurah deras selama perjalanan kereta api menuju kota di dekat perbatasan Belanda ini. Ragu apakah niat menikamti keindahan Maastricht bakal kesampaian. Kami mesti menunggu beberapa waktu di stasiun sebelum hujan mulai melunak. Letak pusat kota Maastricht ternyata juga tak terlalu dekat dengan stasiun pusat.
Di sela-sela gerimis, kami berjalan cepat. Emak aman berada di dalam kereta dorong berkerudung plastik. Kepalanya sesekali nongol melalui bagian depan plastik penutup. Jalan utama di depan stasiun mengarah ke sebuah jembatan besar di atas sungai Maas, penghubung menuju jantung kota. Sungai ini sepertinya seringkali dilewati kapal-kapal sungai berbadan besar. Kami sempat menyaksikan bagaimana jembatan terangkat untuk memberi jalan bagi sebuah kapal barang. Ini pertama kali kami menyaksikan proses demikian. Meski di Bremerhaven pun ada jembatan sejenis. Unik.
Jantung kota Maastricht lebih asyik ditelusuri dibanding Liege. Di antara rintik hujan, kami berfoto di gang-gang kecil disana. Sesekali kami keluar masuk toko jika sudah kedinginan. Sepatu kesayangan Emak jebol di kota ini. Memaksanya untuk membeli pasangan baru. Emak dapatkan sepatu jalan baru dengan harga murah meriah, masih awet hingga kini.
Pulangnya, kami sempat kebingungan tak menemukan jadwal kereta ke Aachen. Kami salah, perjalanan kembali ke Aachen mesti ditempuh dengan bus kota. Hujan deras yang kembali menerpa dan badan capek membuat kami ingin sekali cepat-cepat kembali ke Aachen. Sayangnya, harapan tinggallah harapan. Kami harus menunggu hampir dua jam. Sepanjang perjalanan kami berdiri dalam bus penuh sesak. Capek dan bete bercampur jadi satu. Jika diingat sekarang, jadi kenangan berharga tak terlupakan.