Ujung Batu – Padang pp

Hari kedua di tanah kampung halaman Bapak. Jet lag belum sembuh, kakak ipar harus mengantar tiga anaknya yang bersekolah di boarding school di Payakumbuh dan Padang. Kami berencana silaturahmi dengan keluarga Bapak. Eh, siang harinya berubah. Pikir-pikir, kenapa gak sekalian ikut saja ke Padang. Si Embak ingin melihat Sumatera Barat. Emak pun belum pernah ke propinsi satu ini. Dan lagi, ada satu kerabat Kakak membawa satu kendaraan yang kosong. Tanpa persiapan banyak, kami ikut pergi agak sorean.

Jaraknya kedua tempat jika dilihat di peta google sejatinya hanya 300 km lebih sedikit. Idealnya bisa dicapai dalam 5-6 jam. Akan tetapi sebab mampir ke beberapa tempat, kami butuh 10 jam perjalanan. Bukan perjalanan singkat dan tak melelahkan.

Ada spot menarik menjelang perbatasan Riau – Sumatera Barat. Yakni bendungan Sungai Kampar. Sebab jalanan berada di ketinggian, orang bisa melihat bendungan dikelilingi perbukitan dari sini. Tepian jalan sudah banyak dijadikan gubuk-gubuk bambu dan kayu. Sebagian besar dijadikan tempat berjualan makanan. Namun beberapa masih kosong. Kami pilih gubuk kosong untuk beristirahat, makan bersama sambil menikmati pemandangan. Las kayunya yang kotor kami bersihkan dengan daun-daun dari pepohonan sekitarnya. Tak hanya kami, ada satu rombongan lain sedang makan bersama.

Nikmatnya makan bersama di perjalanan. Padahal belum lama kami tinggalkan rumah. Rupanya tempat ini sudah jadi tempat makan ramai. Jika melongok sedikit ke bawah gubuk, sampah plastik, kertas nasi, koran bekas sudah tak terhitung banyaknya.

Tak semua kondisi perjalanan Emak rekam. Perbedaan kedua propinsi tak terlalu menyolok. Bentuk beberapa bangunan saja bisa membedakan bahwa kita sudah berada di lain propinsi. Sering pula tertidur di kendaraan. Hari sudah gelap sesampai di Kelok 9. Sayang sekali. Padahal ingin memotret kelok-keloknya. Kami teruskan perjalanan hingga di Lubuk Bangku.

Kata Bapak, jika naik kendaraan umum dari Ujung Batu ke Padang, maka bus pasti berhenti di tempat ini. Tempat ramai dengan banyak sekali rumah makan. Nah rumah-rumah makan tersebut menyediakan tempat sholat, tempat mandi hingga ruang tidur gratis bagi para penumpang atau siapa saja yang lewat daerah tersebut. Sekitar pukul 7 malam, Ranah Minang, tempat kami makan masih sepi, belum ada tanda-tanda orang mau menginap. beberapa dari kami juga makan malam. Harga makanannya pun tak terlalu mahal.

Kiri kanan jalan ke arah Payakumbuh – Bukittinggi – Padang Panjang – Padang banyak diisi warung makan dan toko cemilan kripik sanjay. Jalanan tak terlalu lebar, tapi mulus. Di akhir minggu, ruteini sering macet, kata kakak ipar. Apalagi menjelang atau usai liburan panjang. Bisa berjam-jam mobil tak bergerak.

Hampir pukul 10 malam kami tiba di Bukittinggi. Hanya sempat berfoto sejenak di sekitar Jam Gadang. Kakak-kakak kedinginan. Buat kami, sungguh nyaman suhu udara di kota ini. Setelahnya, Emak tak terlalu memperhatikan jalanan lagi. Lebih banyak tidur hingga kami sampai di Padang.

3 Comments

  • dicky

    Saya ketik di google search: bus ke ujungbatu. Nyasarnya kesini. Alhasil sekalian numpang baca2 artikel lain si mbak. Dan wow! Tampaknya si mbak udah keliling dunia (atau menetap di luar negeri?). Asli ujungbatu mbak?

    Salam kenal dari alumni sman1 ujungbatu.

  • ira

    Halo Dicky, salam kenal… Terima kasih apresiasinya, ya. Kami memang tinggal di luar sekarang. Yang asli ujung batu itu suami saya. Sampai sekarang masih banyak keluarga kami yang tinggal di Ujungbatu. Para ponakan pun sekolahnya di SMAN 1 Ujungbatu. Sekarang Dicky masih tinggal di sana?

  • Dicky

    Saya kerja nomaden mbak, tergantung SK mutasi. Sekarang tugas kebetulan di pulau sebelah barat sibolga. Kalau lebaran ke ujungbatu tempat mertua & bukittinggi ketemu keluarga

Leave a Reply

%d bloggers like this: