Uplistsikhe dan Gori

uplistsikheHuaaaa… pagi itu bangun agak kesiangan. Rupanya rasa capek menempel di tubuh lebih lama. Sehingga masa istirahat menjadi lebih panjang. Rencana memulai jalan-jalan pagi, gawal sudah.

Hampir setengah sebelas baru kami berjalan menuju stasiun metro terdekat, mengisi kartu ekspress untuk naik kendaraan umum di Tiflis, lalu turun eskalator yang saking tingginya, Emak gamang, tak berani melihat ke dasar stasiun.

Stasiun metro Liberty Freem Tiflis ini bernuansa putih merah. Konon tak boleh memotret di stasiun-stasiun metro sini. Polisi berkeliaran di banyak tempat. Jadi kami nikmati saja sendiri pemandangan di dalam sana. Adik senang sekali naik metro. Tujuan kami, stasiun Didube, enam halte dari Liberty Freedom. Tak kami temui kesulitan berarti. Sebab pengumuman nama halte disiarkan dalam bahasa lokal dan bahasa Inggris.

Pasar Didube bersebelahan dengan terminal marshruka, transportasi umum di dalam antar kota di Georgia. Tujuan kami adalah Gori, sekira sejam perjalanan dari Tiflis. Tak susah menemukannya. Seorang langsung menunjukkan marshruka  dimaksud. Bentuknya mirip mobil kijang, diisi hingga 16 penumpang. Ongkosnya 5 lari per orang.

Emak mendapatkan tempat duduk paling belakang, di pojokan. Memangku Adik. Posisi tempat duduk tinggi, sedangkan jendela rendah. Kalau melihat keluar harus menunduk. Tapi Emak tak ingin melewatkan kesempatan mengenal lebih jauh tentang Georgia.

Marshruka melaju memasuki jalan. Tampaknya sebuah jalan tol. Tapi sepertinya gratisan, seperti di Jerman. Pak sopir melaju kencang. Kadang-kadang saja melambat jika beliau melihat lambang radar. Jalanan bergelombang. Kami terguncang-guncang. Adik senang ketika kepala kami saling berbenturan. Apalagi dipangku seperti ini. Di Jerman tak pernah boleh seperti ini.

Berpenduduk sekitar 5 juta jiwa, Georgia kelihatan sepi. Beberapa daerah terlihat desa atau pemukiman. Nun jauh di sana, Kaukasus berdiri. Puncak-punyaknya tertutup salju. Saat ini di kota dekat Georgia utara, Sochi (Rusia), sedang diselenggarakan Olimpiade Musim Dingin. Mungkin banyak orang lebih memilih berkunjung ke Sochi.

Georgia sebenarnya tidak tandus, tapi kok terlihat menyedihkan begini. Banyak sampah berserakan di pinggir jalan. Mobil-mobil tua penuh karatan melaju di jalan tol. Membawa beban berat. Orang-orang bergerombol di pinggir jalan. Kebanyakan lelaki tua.

Di Gori, seorang menunjukkan museum Stalin. Kami turun. Sebenarnya kami mua ke kota gua Uplistsikhe terlebih dahulu. Akan tetapi belum memutuskan. Mau naik marshruska lagi atau naik taksi saja. Naik marshruska ongkosnya 1 lari per orang. Kabarnya naik bus ynag bentuknya sudah tak keruan. Ada rasa penasaran ingin naik. Jika naik kendaraan umum ini, ada bonus jalan kaki sekira sekilo meter sampai tempat tujuan.

Naik taksi ongkosnya 10 lari sekali jalan. Langsung di depan pintu masuk kota gua. Baru saja masuk kompleks museum, seorang bapak tua menyapa. Sopir taksi. Menawari kami ke kota gua. Tarif ynag ditawarkan sama, 10 lari. Ya sudah, kami ambil saja. Kami sudah kesiangan hari ini. Kalau mesti menunggu marshruska, jalan kaki, eksplor kota gua, jalan kaki, naik bus umum lagi, akan menghabiskan sangat banyak waktu. Kami juga mau masuk museum ini. Bisa kemalaman sampai di Tbilisi kembali. Makan malam nanti, kami berencana wisata kuliner di rumah makan halal dekat Gereja Metekhi.

Bapak sopir senang sekali. Beliau menghadiahi sebiji apel kepada Adik. Meluncurlah kami di jalanan kota Gori. Si Bapak hanya berbicara bahasa Inggris sepotong-sepotong. Saat menunjukkan harga taksi tadi, beliau menggunakan hape tua miliknya.

„Guvernur!“ kata beliau ketika mobil melewati sebuah kantor besar.

„Ooooooooo,“ jawab Bapak dan Emak kompak.

Beliau kembali ngomong sesuatu. Kami tak mengerti.

„Zegzegzegze… train,“ sambil tangannya meliuk-liuk.

„Yes, terminal,“ kata Bapak.

„Bukan. Station,“ Embak menyahut.

„Ah, yes,“ kata Bapak lagi.

Hehehehe. Segera kami lalui desa-desa. Jalanan sudah bagus, walau tak rata. Rumah-rumah terlihat lusuh. Aduhhh, rumah kok lusuh. Pokoknya banyak temboknya cuil, retak, dan tak diplester.

Di kejauhan, kota gua mulai kelihatan. Tuh di sono, mungkin demikian gumam Pak Sopir kepada kami.

(bersambung)

Leave a Reply

%d bloggers like this: