Beginilah jika jalan-jalan beramai-ramai. Selalu ada alasan buat berfoto. Di setiap tempat, setiap waktu. Hampir tak ada sudut kereta api atau kapal feri tak digunakan untuk berfoto atau difoto. Yang hobi memotret hanya seorang. Lainnya hobi dipotret. Sejak berangkat hingga kembali. Rasanya foto-stop kami lebih banyak dibanding jumlah tempat yang kami kunjungi. Melelahkan sekaligus menyenangkan.
Sampai di stasiun Københavns Hovedbanegård alias stasiun pusat Kopenhagen, pukul dua lebih lima menit. Turun dari kereta api, kami langsung berfoto di bawah papan bertulis Københavns H. Bangsal stasiun pusat memiliki atap berkerangka kayu setengah lingkaran warna merah. Menurut informasi seorang teman, rata-rata stasiun di Skandinavia berkerangka kayu. Agar lebih hangat. Terutama di musim dingin.
Di setiap sudut stasiun ramai dijejali penumpang yang ingin bepergian atau baru turun dari kereta. Di bagian tengah saal berdiri toko-toko atau kafe tak terlalu besar. Ada toko bunga, souvenir, penukaran uang, serta informasi kereta. Di banyak tempat berdiri mesin-mesin penjual tiket dan telefon umum. Beberapa bagian sedang direnovasi. Menurut Emak, stasiun ini terasa suram. Hanya sedikit cahaya masuk lewat atap dan jendela kaca di sana.
Emak dan Farid meneliti peta kota dari pusat informasi dan menemukan jalan menuju penginapan kami. Letaknya ternyata tak jauh dari belakang stasiun. Hanya tiga menit berjalan kaki. Saga Hotel, di ruas jalan bernama Colbjornsensgade. Berdinding batu bata merah, bangunannya mirip gedung apartemen berlantai enam biasa.
Kami masuk, mendaftarkan diri ke resepsionis. Seorang wanita ramah pertengahan tiga puluh tahun memberi dua kunci kamar. Saat saya dan suami menyelesaikan masalah pembayaran, teman-teman lain mengambil brosur dan peta Denmark dan Kopenhagen di rak belakang pintu. Wilda dan Sese memborong peta. Sekalian buat souvenir, kata Wilda. Di dekatnya ada info-info tujuan wisata seukuran kartu nama. Wah bisa jadi pembatas buku, dong, kata saya sembari mengambil dua puluh-an kartu.
Kami sempat berpencar. Keluarga pelancong plus Mas JJ dan Wilda mampir ke kota terdekat di Swedia, Malmo.
Malam, menjelang pukul sembilan sepulang dari Malmo, kami semua kembali bergabung. Foto-session malam hari dimulai. Dua tripod, dua kamera SLR digital, dan satu kamera saku digital dan tujuh orang sangat gemar difoto. Mas JJ sedikit kesal terlupa membawa sarung tangan di malam dingin itu.
Tujuan pertama kami, gerbang Tivoli. Lampu-lampu menyemarakkan suasana malam di depan gerbang. Tivoli baru dibuka kembali untuk umum tanggal 13 April setelah Paskah. Sayang. Tapi ada untungnya juga, kami tak perlu mengurangi waktu terbatas kami di Kopenhagen.
Sebuah kolam air muncrat tak berair berada di tengah Axeltorv. Segerombolan anak muda masuk ke kolam dan berfoto dengan gaya lucu. Sebagian duduk, sebagian tiduran di dalam kolam.
Kami mencoba berbagai gaya di sesi pertama foto bersama ini. Gaya natural, gaya berkacak pinggang, gaya saling dorong. Ada juga foto sendiri-sendiri dengan gaya terserah.
Gedung-gedung tinggi di sekitar lapangan meriah oleh lampu warna-warni. Iklan berbagai macam produk terang benderang menambah semarak suasana. Sese menunjuk ke kawasan Stroget. Di situ banyak kafe dan tempat belanja keren, katanya. Suhu saat itu 2°C, menurut informasi digital di dinding sebuah gedung tinggi. Pantas saja kami semua merasa sangat kedinginan di musim semi yang hangat itu. Sekali lagi, kami berpose berbagai gaya di lapangan balai kota. Dari gaya tangan V a la orang Korea, gaya kedingingan, gaya menghadap samping, hingga gaya miring. Embak juga tak kalah heboh bergaya di depan kamera.
Ruang sarapan yang juga berfungsi sebagai resatauran adalah sebuah ruang cukup luas. Ada kira-kira 12 meja persegi. Di atas tiap meja terdapat setermos kopi panas. Masing-masing dilengkapi empat kursi makan. Makanannya boleh mengambil sendiri-sendiri. Seorang ibu pekerja asal Filipina menyambut kami.
Menu makan pagi di penginapan khas Eropa. Di satu meja di depan tersedia dua macam sereal, jus jeruk, susu dan dua macam yoghurt rasa buah nektar dan anggur. Di meja besar di ruangan terpisah dari ruang makan, tersedia aneka broetchen (roti kecil Jerman), roti-roti bundar manis, yang kemudian saya ketahui namanya sebagai wiener brod, dua macam keju, mentega, aneka selai buah, teh celup, roti kering dan dua tiga macam roti besar yang mesti dipotong sendiri. Segala peralatan makan pun tersedia di ruang ini.
Saya mengambil roti kering, dua wiener brod, dua potong roti dan dua potong keju untuk dimakan bersama. Pun segelas jus jeruk sebagai pelengkap. Yang lain pun tak menyia-nyiakan kesempatan mengisi perut hingga kenyang. Sebagian besar bekal makan kami habis. Wiener brod-nya enak, kata Sese. Juga teh rasa mangganya. Sejam kami habiskan di ruang makan.
Hari ini, lebih banyak sesi foto dilakukan. Baik sendiri-sendiri maupun dalam formasi lengkap 7 orang. Setiap kali ada latar belakang menarik, hampir semua langsung ambil posisi untuk dipotret.
Latar belakang keren pertama adalah Galeri Nasional Denmark alias Statens Museum for Kunst di Hans Andersens Boulevard. Keistimewaannya terletak pada gabungan koleksi 700 tahun seni dan sejarah peradaban barat. Merupakan rumah bagi karya seni pahat dan lukis Denmark dan internasional. Menurut website resmi museum, koleksi mereka antara lain maha karya pelukis renaissance Tizian dan Mantegna, adi karya abad 17 oleh Rubens dan Rembrandt, serta lukisan di jaman keemasan Denmark abad 19 oleh Eckersberg dan Købke. Tak ada rencana masuk museum, kami puas berfoto di seberang gedung megahnya.
Christiansborg, sebuah istana megah di pusat Kopenhagen sedang dalam renovasi saat kami di sana. Hanya sedikit orang mengunjungi tempat ini. Bersama kami, tampak dua lelaki Asia senang memotret. Lapangan di dalam kompleks tampak tandus. Tanpa rerumputan. Hanya tanah kering dan terlihat gersang. Tempat ini digunakan sebagai arena latihan kuda. Kami, yang sempat mengira istana ini adalah salah satu kediaman keluarga istana mengira, kuda tersebut milik Pangeran Frederick Alexander, putra mahkota Denmark. Ternyata Christiansborg merupakan rumah bagi tiga kekuatan tertinggi negara : eksekutif, legislatif dan judisial. Di sini, kami berfoto bersama sambil berpose duduk di atas rantai besi besar.
Berjalan-jalan di Kopenhagen, kami mulai meniru kebiasaan warga setempat. Artinya mulai kadang-kadang nyelonong saat menyeberang, selama tak ada kendaraan. Bukan contoh baik bagi anak kecil.:)
Lokasi sesi foto berikutnya tak jauh dari Admiralgade, yakni Kongens Nytorv, berarti Lapangan Baru Raja. Inilah lapangan terbesar dan terelegan di seluruh Kopenhagen. Menjadi penghubung antara kota tua dan kota baru. Bagian tengahnya berupa taman berpagar. Patung berkuda mendiang Raja Christian V dan empat patung penjaga melengkapi suasana taman. Bangku-bangku taman berderet di sekelilingnya. Tempat istirahat asyik setelah berbelanja di daerah sekitarnya. Di sini pula berdiri sebuah restauran masakan indonesia bernama Bali.
Di sini pula foto bersama dengan banyak gaya aneh diabadikan. Ada gaya meleng kamera sampai gaya meneliti peta bersama-sama.
Kami rehat sejenak di Nyhavn, satu kanal yang sekarang menjadi salah satu atraksi turis. Beberapa dari kami perlu ke toilet. Yang lain duduk-duduk di pinggir kanal. Seperti banyak orang lain. Beberapa gerombolan orang duduk sambil minum bir atau merokok. Kapal-kapal nelayan berlabuh di pingir. Sisi kiri kanal adalah deratan kafe dan restauran. Penuh oleh pengunjung. Apalagi hari Sabtu itu matahari bersinar cerah dan suhu udara menghangat.
Kaki ini sudah mulai kelelahan. Sementara waktu kami di sana semakin terbatas. Tinggal kira-kira empat jam lagi. Sementara obyek wisata yang ingin dilihat masih berderet. Kami terpencar. Beberapa ingin segera sampai Amalienborg, obyek berikutnya, sementara yang lain masih ingin menikmati suasana.
Amalienborg Palads, kediaman keluarga kerajaan di musim dingin tak terlihat terlalu ramai siang itu. Sebagian sedang direnovasi. Atraksi utama di sini adalah penjaga-penjaga di luar istana berseragam merah dan bertopi tinggi warna hitam. Seperti di wadah biskuit Danisa. Kami semua berebut untuk berfoto di dekat mereka. Saat mau difoto, sang pengawal memberi kode kalau kami mesti maju, dan tak berpose sejajar dengannya.
Kami sempat mengikuti prosesi pergantian pengawal tepat pada pukul 12 siang. Entah dari mana, pengunjung datang bagai air bah. Tiba-tiba saja sangat banyak orang berkumpul untuk mengikuti prosesi ini. Para pengawal lama berbaris dan diganti oleh pengawal baru yang datang dari arah Amaliensgade. Prosesnya lama dan membosankan. Hingga lima belas menit emudian, kami telah kehilangan gairah untuk mengikuti sampai akhir. Lebih baik berfoto bersama di depan istana sebelum meneruskan perjalanan untuk menemui Den Lille Havrue, sang puteri duyung.
Wanita paling sering difoto di Denmark, patung sang Putri Duyung berukuran seperti layaknya manusia biasa. Jauh lebih kecil dari bayangan saya semula tentangnya. Meski obyek sederhana, melihat patung putri duduk di atas batu ini nyaris menjadi keharusan bagi setiap turis di Kopenhagen. Patung perunggu ini dibuat berdasarkan cerita karya H.C. Andersens oleh pematung Edvard Eriksen. Berbeda dengan cerit asli dimana kehidupannya berakhir bahagia, sang putri tampak kesepian, duduk sambil memandang di kejauhan.
Di sini Emak mulai kehilangan gairah untuk berfoto bersama. Kecapekan dan rasa lapar mulai mendera. Emak hanya memotret dan dipotret sambil duduk di kejauhan. Apalagi untuk bisa mendekati patung, diperlukan sedikit perjuangan. Melalui bebatuan licin di sana. Emak memperhatikan banyak rombongan turis berebut untuk berpose sedekat mungkin dengan si putri.
Melewati Stroget, kawasan belanja terbesar di Kopenhagen di siang itu serasa melewati pasar malam penuh sesak. Sepertinya semua warga Kopenhagen tumplek blek di sana. Susah sekali mencari tempat lowong saat berjalan kaki. Apalagi kami membawa Embak Syifa yang sedang pulas dalam kereta dorong. Di mana-mana ada orang. Di jalan, di toko-toko, di kafe, di tempat parkir.
Di tengah jalan, kami berpisah. Kami sekeluarga berjalan terus ke arah stasiun. Sementara lainnya ingin mampir membeli lebih banyak kenang-kenangan. Kami terus menikmati Stroget dengan segala hiruk pikuknya. Merekam segala sesuatu sebelum kembali ke Jerman. Sebagian orang cuek duduk-duduk di sebuah lapangan. Seniman jalanan menampilkan berbagai atraksi. Ada penabuh genderang berpakaian a la timur tengah, pengamen pembawa lagu jazz atau peniup saksofon, serta seorang dengan atraksi seperti layaknya di sirkus, dengan bola, tali, dsb.
Tak tahan lapar, kami berdua memutuskan membeli mie goreng vegetarian di sebuah kedai masakan cina cepat saji. Dua wadah plastik kecil dengan harga masing-masing sekitar 3 euro. Terasa mahal bagi kami. Kami makan dengan cepat di bangku depan balai kota. Sama sekali tak mengenyangkan.
Hanya satu souvenir dan mie goreng itulah yang kami beli selama di Kopenhagen. Semuanya terasa mahal jika di-kurs ke euro. Kebab yang biasanya bisa didapatkan dengan harga 2-3 euro di sini seharga 5-7 euro. Dua kali lipat lebih. Namun semuanya tak mengurangi kegembiraan kami selama perjalanan.
[…] terutama. Di Italia, satu dua kedai terselip diantara trattoria, pizzeria serta penjual pasta. Di Kopenhagen dan Zurich pun kami lihat satu dua kedai. Hanya di Eropa Timur, yakni di kota-kota seperti […]
[…] tak ada niatan kami melawat ke Malmo kala kami bertandang ke Kopenhagen. Rencana awalnya, kami semua akan menghabiskan dua hari mengelilingi ibu kota […]
[…] Skandinavia terkenal akan kemahalannya. Terasa ketika kami mengunjungi kota-kota di sana seperti Kopenhagen dan Malmo (Swedia). Susah mencari penginapan seharga dibawah seratus euro per […]
[…] teman lainnya. Farid, Mas JJ, Sese, dan Wilda. Berawal dari penawaran tiket murah Hamburg – Kopenhagen dari Deutsche Bahn, perusahaan perkeretaapian Jerman. Empat puluh lima euro per orang, bolak-balik. […]