Kota kecil di dekat perbatasan Jerman-Austria adalah kota pertama di luar Jerman yang dikunjungi keluarga pelancong. Membuka lembaran sejarah pelancongan keluarga ini. Saat itu, pertengahan tahun 2002, keluarga kami masih tinggal di Nuernberg, di negara bagian Bavaria alias Bayern.
Keluarga pelancong, masih dengan kekuatan tiga orang, Bapak, Emak, dan Embak ingin keluar negeri. Tapi dengan biaya minimal. Karena modal untuk melakukan perjalanan sangat minim. Seebelumnya, beberapa teman sudah merekomendasikan kota ini sebagai kota kecil tapi indah. Dan lagi, dengan jarak empat jam-an berkereta api ekonomi, maka Salzburg menjadi tujuan wisata ideal bagi keluarga pelancong.
Membeli Wochenendeticket (tiket akhir minggu) kami bertolak kesana pagi-pagi. Harganya tak sampai 30 euro waktu itu. Tiket akhir minggu adalah tiket murah, berlaku di kereta api ekonomi di seluruh Jerman untuk hari Sabtu atau Minggu. Berlaku untuk maksimal lima orang dewasa. Kami gunakan berempat, sekeluarga plus seorang mahasiswa, kerabat Bapak.
Embak masih bayi waktu itu. Antara empat hingga lima bulan-an usianya. Kami bawa dia dengan kereta bayi dan gendongan. Tenang dan tidak rewel.
Pemandangan Nuernberg – München, disambung München – Salzburg sungguh elok. Cuaca cerah menjadi pendukung perjalanan kami. Sawah, perbukitan, danau, desa-desadengan binatang-binatang ternak dan perkebunan. Emak perhatikan, banyak anak-anak muda bergaya punk menemani kami dalam kereta. Sebagian besar berpakaian dan berdandan serba hitam. Empat jam berlalu tanpa terasa.
Kami sempat bingung sampai di stasiun Salzburg. Bingung berada di tempat baru. Untunglah, bahasa penduduk sana masih sama. Sehingga rasa asing segera pudar. Bapak kemudian mengantri di pusat informasi turis di stasiun, membeli sebuah peta kota. Kami berempat memutuskan membeli tiket harian dalam kota. Pusat kotanya ternyata agak jauh dari stasiun.
Bus-bus kota Sazburg menggunakan tenaga listrik. Mirip tram, namun berbentuk bus tua tinggi. Tak lama kami menaikinya. Jalanan macet sebab demo para punk tengah berlangsung. Kami teruskan perjalanan, berjalan kaki. Pusat Salzburg, terletak di seberang sungai Salzach. Bangunan-bangunan tuanya terlihat cantik di seberang. Bergaya baroque, katanya. Di kejauhan, sebuah puri berdiri di lereng sebuah bukit.
Meski kecil, Salzburg adalah kota wisata terkenal. Turis-turis ramai berseliweran.Tak jarang kami jumpai wajah-wajah Asia di kota ini.
Cuaca makin terasa panas. Kami meneliti peta, memutuskan mengenelilingi kota tua. Melewati gedung-gedung kuno, pasar barang bekas, tukang sayur, menyaksikan para seniman jalanan beraksi. Yang paling mengesankan, barangkali adalah pertunjukan musik dua orang lelaki dengan media gelas berisi air. Setiap gelas diisi air dengan volume berbeda, sehingga ketika dipukul tangan menghasilkan nada berbeda pula. Tak hanya kami mengagumi pertunjukan kecil mereka.
Kami lewati tempat kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart, seorang komponis musik klasik terbesar di jamannya. Dari sanalah kami baru tahu bahwa Mozart lahir di kota ini. Berjalan-jalan, duduk-duduk di bangku kota, memandang seliweran para turis dan penduduk kota. Lewat tengah hari, kami memutuskan untuk melihat puri di bukit dari dekat.
Mendaki bukit sambil medorong kereta bayi ternyata butuh perjuangan hebat. Bergantian Emak, Bapak, dan kerabat mendorongnya hingga di gerbang puri. Sayangnya, semua pengunjung mesti membayar jika ingin masuk ke halaman dan menikmati keindahan puri dari dalam. Dengan sisa uang terbatas di kantong, tentu saja kami tak mau menggunakannya untuk masuk ke puri. Kami hanya berfoto di ketinggian bukit, berlatar belakang kota Salzburg di bawahnya sebagai peredam kekecewaan.
Perjalanan pertama ke luar Jerman, adalah spontanitas. Tanpa rencana matang. Jadinya, kami hanya mengunjungi pusat kota dan bukitnya saja. Padahal, kemudian kami tahu, bahwa di Salzburg masih punya banyak tempat indah untuk dikunjungi. Lain kali, insyaallah…..